"Smoga.. Semuanya Allah catatkan dalam Tinta Emas.. sebagai penghargaan atas setiap pengorbanan yg di berikan.. ya... untuk semua relawan Merapi.. "
- dari note masto, + foto2nya wicak udh ijin share.. -

Waktu itu pukul 00.07 pagi, tanggal 5 November 2010. Aku terbangun
oleh suara sms masuk di blackberryku. Ternyata Ari Retnowati, teman
kuliahku di IPB dulu yang sekarang tinggal di Klaten. “To, merapi kenapa
lagi? Suara gemuruh gludag gludug-e kedengeran kuenceng buanget dari
tempat gue sekarang. Kemarin-kemarin gak pernah kedengeran. Hopefully
everything gonna be ok”.
Suara guruh merapi
memang luar biasa malam itu. Lebih keras dari hari-hari sebelumnya.
Bayangkan kita sedang berdiri di pinggir jalan, lalu ada serombongan
truk tronton lewat. Sekeras itulah kira-kira gemuruhnya. Padahal rumahku
lumayan jauh dari puncak Merapi, sekitar 17-an kilometer.
“Mas, gimana nih? Gak papa ya?”. Ternyata suara sms itu juga
membangunkan istriku. Wajahnya tampak sedikit cemas. Tak heran. Aku pun
cemas. Siapa yang tidak cemas mendengar suara gemuruh seperti itu. Aku
tersenyum, berusaha menampakkan ekspresi wajah setenang mungkin. “Insya
Allah gak papa yang. Kan perluasan radius bahayanya hanya sampai 15 km.
Lagipula pemerintah bikin tenda pengungsian di lapangan Pojok kan? Gak
mungkin pemerintah bikin tempat pengungsian di daerah bahaya”. Sehari
sebelumnya, Merapi memuntahkan awan panas hingga mencapai wilayah timur
laut Merapi Golf. Peristiwa itu membuat radius bahaya yang sebelumnya
hanya 10 km diperluas hingga 15 km. Pengungsi di Oasis Disaster yang
hanya berjarak sekitar 10 km dari puncak dievakuasi ke lapangan Pojok
yang berjarak sekitar 200 meter sebelah utara rumah kami.
Blacberryku berbunyi lagi, kali ini sms dari mas Wandi, kepanduan DPC
Pakem yang sejak letusan pertama tanggal 26 Oktober bersiaga di
pengungsian Hargobinangun. “Info: pengungsi Hargo dipindahkan malam ini
ke Maguwo semua”. Jantungku berdegup kencang. Kalau pengungsian
Hargobinangun dievakuasi, artinya ini benar-benar serius. Kubalas sms
dari beliau. “Bagaimana dengan pengungsi di lapangan Pojok? Apa sudah
ada perintah evakuasi?”. Kalau lapangan Pojok dievakuasi, berarti rumah
kami pun tidak aman. Tak lama datang balasan dari beliau “sementara
masih tetap di Pojok”.
Aku agak lega, tapi
tetap saja kuminta istriku untuk mempersiapkan traveler bag. “Masukkan
saja beberapa lembar pakaian dan semua buku rekening kita, juga kas
OmahTernak yang ada di rumah. Hanya untuk jaga-jaga. Siapkan juga
kandang kecil Choky”. Choky adalah kucing Himalaya jantan peliharaan
kami. Tidak mungkin rasanya meninggalkan dia di rumah bila perintah
evakuasi keluar.
Ketika sedang membantu
istriku mempersiapkan semua, blackberryku kembali berbunyi. Kali ini
telepon dari pak Indra, ketua PKS DPC Pakem. “Assalamu’alaikum” sapaku.
“Wa’alaikumsalam” jawab beliau. “Akhi, bisa minta tolong jemput ane? Ane
mau evakuasi istri dan anak ke rumah antum saja”. Aku langsung berganti
pakaian. Rumah pak Indra berada di Kalireso, sekitar 15-16 km dari
puncak Merapi, dan tepat berada di pinggir Kali Boyong. Bila Merapi
meletus dan awan panas masuk ke Kali Boyong, maka bisa dipastikan rumah
beliau akan terkena.
Aku mengambil kunci mobil
avanza yang disediakan DPD untuk antar-jemput logistik kemudian
berpamitan pada istriku. Saat keluar dari kamar, kulihat semua pengungsi
yang tidur di ruang tengah rumah kami sudah terbangun semua. Ada yang
sedang tilawah, ada yang sedang menenangkan anaknya, ada pula yang
sedang mencoba mengontak kerabatnya yang masih tinggal di atas.
Baru saja dua langkah aku berjalan meninggalkan kamar, tiba-tiba suara
gemuruh itu berhenti beberapa detik dan lalu….. DUAAAAR…. Suara letusan
yang keras sekali. Kami semua terkejut. Ada yang beristighfar, ada pula
yang memekikkan takbir. “Astaghfirullah mas! Apa itu??”. Istriku menarik
jilbab kaos terdekat lalu berlari ke arahku. DUUAAARRR…. Suara letusan
kedua terdengar. Beberapa detik kemudian….TAK…TAK…TAK…. terdengar suara
keras di atap. Aku dan beberapa bapak-bapak berlari ke arah teras.
“Astaghfirullah….Subhanallah…” gumamku pelan. Seumur hidupku, aku hanya
pernah melihat hujan air. Lalu beberapa bulan yang lalu Allah
menunjukkan kepadaku hujan es. Pada letusan tanggal 30 Oktober aku
diperlihatkan hujan abu. Dan kini tubuhku gemetar, jantungku terasa
jatuh ke bawah….hujan batu!
Kendaraan bermotor
mulai dari mobil, truk, dan kendaraan roda dua mulai melaju kencang
melewati rumah kami menuju arah selatan. “Pengungsi dari lapangan Pojok
lari!” pikirku dalam hati. Di sebelah, satu-satunya tetanggaku, pak
Nono—seorang TNI—yang ditugaskan di Hargobinangun berteriak kepadaku.
“Mas! Di sini gak aman!”. Beliau lalu ikut lari dengan motor bersama
keluarganya.
Aku segera masuk kembali ke dalam
rumah, menutup pintu agar abu tidak masuk ke dalam. Kaum ibu di dalam
rumah mulai ribut. “Bagaimana ini akh?” Tanya seorang bapak. Aku
kemudian berdiskusi dengan akh Herwanto dan akh Efen. Kami sepakat,
menyelamatkan diri sekarang justru lebih berbahaya. Di depan rumah kami
truk-truk besar berjalan kencang melarikan diri. Mobil hanya ada satu,
sedang menyelamatkan diri dengan motor berisiko dilindas truk atau
celaka karena menghirup abu merapi.
Kami
sepakat prioritas pertama adalah menjemput pak Indra dan keluarganya di
Kalireso, walau itu berarti melawan arus pengungsi dan relawan yang
melarikan diri. Tapi itu resiko yang harus kami ambil. No one left
behind! Demikian pikirku.
Aku berpamitan
kepada istriku, menenangkannya, lalu berlari ke arah mobil avanza yang
diparkir di pagar masuk rumah ditemani akh Efen. “Awas! Pakai helm akh!”
teriak pak Herwanto. Ups, betul. Hujan batu sebesar kelereng masih
berlangsung. Safety first. Aku dan akh Efen mengambil helm pengungsi
yang disimpan di teras lalu berlari sekencang mungkin ke dalam mobil.
Segera kunyalakan mesin mobil, dan kusingkirkan abu vulkanik yang
menempel di kaca depan dengan wiper mobil.
Di
jalan, tidak ada yang bisa kulihat selain benda yang berjarak 3 meter di
depanku. Hujan abu dan kerikil begitu tebalnya. Belum lagi truk-truk
dari tenda pengungsian yang berjalan cepat melawan arahku. Mungkin
karena panik, truk-truk diesel sebesar itu berjalan di tengah jalan yang
tidak begitu lebar itu. Beberapa kali aku harus membanting stir karena
tepat berpapasan dengan mereka, bahkan sampai hampir terperosok ke sawah
karena berjalan terlalu di pinggir. Aku sudah tidak peduli dengan
klakson dan makian dari truk-truk itu. Yang ada di otakku adalah
secepatnya sampai ke Kalireso dengan selamat.
Pasti hanya karena pertolongan Allah sajalah, aku bisa sampai ke
Kalireso dengan jarak pandang tidak sampai 3 meter sambil melawan arus
evakuasi tanpa salah belok atau tertabrak truk. Aku yakin para supir
truk yang panik itu tidak mungkin bisa melihatku, walau cuma cahaya
lampu mobilku karena akupun sama sekali tidak bisa melihat truk mereka,
ataupun cahaya lampu mereka.
Sesampai di
Kalireso, kujalankan mobil dengan sangat perlahan. Rumah beliau berada
tepat di pinggir jalan tapi, Masya Allah…bahkan aku tidak tahu apa aku
masih berada di atas jalan. Hujan abu makin deras, kini aku buta total.
Sekali lagi, hanya berkat pertolongan dari Allah sajalah aku bisa
berhenti tepat di depan rumah beliau. Bahkan aku bisa memposisikan agar
ekor mobilku tepat di samping pintu masuk. Bila sampai sekarang
orang-orang bertanya kepadaku bagaimana caraku memposisikan mobil
sedemikian rupa sehingga lebih memudahkan evakuasi, aku menjawab tidak
tahu. Aku hanya memutar mobilku dalam kebutaan, dan memundurkannya dan
entah bagaimana tepat di samping pintu. Mungkin beberapa orang
menyebutnya sebagai ‘kebetulan’. Tapi aku sendiri yakin bahwa ini
pertolongan dari Allah.
Saat turun dari mobil,
baru kusadari warga Kalireso sudah berkumpul semua di dalam mushalla.
Di pintu rumah, pak Indra sudah menunggu beserta istri dan anaknya yang
baru berumur sekitar 2 minggu. Di samping mushalla, ada sebuah truk yang
siap mengevakuasi warga di sana. Belakangan aku baru tahu, bahwa di
dalam truk tersebut sudah terdapat 5 jenazah korban letusan Merapi.
Setelah kami semua masuk ke dalam mobil, aku kembali menyalakan mesin
dan menjalankan kendaraanku perlahan-lahan. Keluar dari Kalireso, hujan
abu sudah mulai mereda walau masih deras. Jalan utama yang tadi disesaki
oleh mobil dan truk yang melarikan diri kini telah kosong melompong.
Jalan Turi yang biasanya ramai karena merupakan jalur wisata, kini
seperti kota mati.
Sesampai di rumahku, hujan
abu sudah makin menipis. Kini aku bisa melihat sekitar dengan jelas
walau abu masih terasa merasuk ke pernafasanku padahal aku sudah
mengenakan masker. Orang-orang di dalam rumah sudah mulai tenang, walau
anak-anak masih menangis ketakutan. Mbak Riza, istri pak Indra beserta
anaknya masuk ke kamar bersama istriku. Aku, pak Indra, pak Efen, dan
pak Herwanto berkumpul membicarakan langkah selanjutnya. Kami sepakat,
bahwa pada titik tertentu kami harus keluar dari tempat ini dikarenakan
abu vulkanik halus mulai masuk ke dalam rumah, dan ini tidak baik untuk
kesehatan anak-anak terutama balita. Namun kami khawatir dengan kondisi
jalan menuju ke selatan yang masih sesak dengan pengungsi yang melarikan
diri. Di sini aku menyadari bahwa dalam kondisi darurat seperti ini
diperlukan ketenangan untuk berpikir jernih. Bayangkan bila kami ikut
panik berlarian ke bawah, mungkin akibatnya akan lebih fatal. Untuk saat
ini, kami memutuskan untuk berjaga bergiliran, sementara sisanya
istirahat. Kesempatan ini aku gunakan untuk mengontak akh Wicak, temanku
di Bandung untuk mencari kabar terbaru. Kami tidak bisa mengakses media
karena listrik dimatikan.
Kira-kira pukul
tiga pagi, rumahku diketuk. Ternyata seorang kepanduan dari DPD Sleman
datang untuk memeriksa kondisi kami. Beliau menyarankan kami untuk
evakuasi sekarang, sambil meyakinkan bahwa jalan Kaliurang telah lengang
sehingga aman untuk evakuasi. Dua buah mobil dari DPD juga telah
berangkat menuju rumah untuk membantu proses evakuasi.
Pak Indra memintaku untuk berangkat terlebih dahulu untuk
mengangkut ibu-ibu yang mempunyai anak-anak balita. Tujuannya adalah
Ponpes Darush Shalihat. Terus terang aku merasa agak keberatan. Aku
berat meninggalkan istriku di rumah dalam kondisi seperti ini. Apalagi
Merapi sudah mulai kembali bergemuruh. Tapi aku tahu aku harus
menanggalkan egoku dalam kondisi seperti ini. Aku tahu, mengevakuasi
anak-anak balita terlebih dahulu adalah keputusan yang tepat karena
kondisi udara saat itu tidak baik untuk mereka. Dan anak balita tidak
mungkin dievakuasi tanpa ibu mereka. Sehingga apa boleh buat, istriku
harus menunggu untuk dievakuasi.
Perasaanku
sangat berat ketika berpamitan dengan istriku. “Hati-hati ya mas”
ucapnya sambil tersenyum. Aku hanya mengangguk pelan. Ku tatap wajahnya
seakan-akan itu terakhir kalinya aku bisa menatap wajahnya. Ketika
berjalan menuju mobil, kutepuk bahu pak Indra. “Titip istri ane ya akh”.
Aku berusaha tenang namun ternyata suaraku tetap bergetar. “Ya akh,
Insya Allah” jawab beliau.
Aku menjalankan mobilku
perlahan, berusaha tidak membuat anak-anak kecil ini makin ketakutan.
Di sebelahku, seorang ummahat terisak-isak sepanjang perjalanan. Beliau
istri dari pak Herwanto. Sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu di
dalam mobil untuk menceriakan suasana atau sekedar mencairkan
ketegangan. Tapi aku sendiri sedang dalam keadaan kalut. Senyum istriku
terus terbayang sepanjang perjalanan. Akhirnya aku hanya diam saja. Aku
hanya berusaha secepat mungkin dan seaman mungkin sampai di ponpes
Darush Shalihat, lalu kembali ke Pakem untuk menjemput istriku.
Sesampai di ponpes, aku segera menghubungi pak Indra. Ternyata
beliau meminta aku untuk menunggu di sana. Tentu saja aku protes. Tapi
beliau segera memotong “istri antum Insya Allah aman akh, beliau naik di
mobil kedua di belakang antum”. Hatiku agak tenang, walau aku belum
lega sebelum melihat istriku lagi. Sehingga walau aku diminta untuk
segera ke kantor PKS DPD Sleman, aku memutuskan untuk menunggu sebentar
lagi. Baru setelah bertemu istriku aku berangkat menuju kantor DPD.
Aku tiba di DPD tepat saat adzan subuh. Di sana suasana cukup
hiruk-pikuk. Barulah ketika masuk ke dalam, aku melihat betapa besar
kejadian dini hari tadi di televisi. Di kabarkan 50 orang luka bakar di
Kecamatan Cangkringan. Tetapi belum diketahui ada atau tidaknya korban
tewas. Dari televisi juga aku mengetahui radius bahaya diperluas hingga
20 km. Fuuuhhh…… there goes my neighborhood… pikirku dalam hati. Rumahku
resmi masuk wilayah bahaya II.
Di DPD aku bertemu
dengan ustadz Ryo Rasyid, yang memiliki kelompok binaan Ternak Domba
Master di Cangkringan. Beliau menanyakan kondisiku dan teman-teman
Pakem. Belakangan baru aku mengetahui bahwa sebagian kandang kelompoknya
habis disapu awan panas. Saat itu aku tidak menyadarinya, karena
kondisi beliau saat itu tenang sekali.
Tak lama,
aku juga mendapatkan telepon dari ustadz Nashir Harist, pimpinan ponpes
Al-Hadi. Beliau menanyakan kondisiku dan kondisi kandangku. Aku
menjawab: “ane Alhamdulillah baik-baik saja ustadz. Kalau kandang….ane
pasrahkan saja pada Allah…ane gak tahu”. Aku benar-benar belum tahu
nasib kandangku beserta karyawan yang tidur di sana. Mereka belum bisa
ku hubungi.
Setelah shalat subuh, aku memilih
kembali ke mobil. Aku lelah sekali. Di DPD sudah tidak ada tempat untuk
sekedar duduk. Banyak sekali pengungsi di sana. Aku ingin tidur sebentar
di dalam mobil. Ini pasti akan menjadi hari yang sangat panjang dan
melelahkan…Sebelum tidur, kusempatkan untuk mengirimkan sms kepada
istriku. “Whatever happened, I will always love you”.
Pagi jam setengah 8, aku kembali bertemu dengan pak Indra di DPD.
Sebelumnya aku sempat mengantarkan istri ke rumah orang tuaku. Tapi
karena ia ingin kembali lagi ke posko, akhirnya kami hanya meletakkan
barang-barang yang sempat kami bawa di rumah orang tua.
Pagi itu aku, istriku dan pak Indra kembali ke rumahku untuk
mengambil barang teman-teman serta logistik posko yang masih tertinggal.
Tetapi sebelumnya aku sempatkan untuk mampir terlebih dahulu ke
kandangku di dusun Penen. Selama di perjalanan, baru aku mendengar kisah
heroik teman-teman DPC Cangkringan yang mengevakuasi warga sambil
dikejar oleh lahar panas. Bahkan ada satu kelompok yang terpaksa memutar
ke arah Prambanan karena jalur evakuasinya terpotong oleh lahar panas.
Ternyata, ketika di rumahku hujan batu dan pasir, mereka mengalami hujan
api. Dan ketika aku menembus kegelapan malam menuju Kalireso, mereka
sedang berjibaku menyelamatkan warga sambil dikejar lahar serta awan
panas. Beberapa hari kemudian, aku membaca status facebook ketua DPC
Cangkringan kurang lebih sebagai berikut: “Awan panas sudah ada
alamatnya akan ke mana. Demikian juga kematian itu pasti akan datang.
Tinggal bagaimana kita mengatur seni kematian itu, mati dalam
kemaksiatan atau mati dalam kemanfaatan kepada orang lain”.
Setibanya di Penen, kudapati kandangku sudah kosong melompong.
Tampaknya anak kandang kami sudah mengungsi entah kemana. Aku masih
tidak bisa menghubungi mereka. Seluruh rumput untuk pakan kami sudah
tertutup abu. Tapi Alhamdulillah, kandang domba kami bersih. Memang
jalan tempat domba masuk ke kandang putih tertutup abu semua. Tetapi
bagian dalam kandang dan tempat pakan, bersih. Domba kami masih
dilindungi Allah. Aku sedikit lega, walau dalam hati mengkhawatirkan
stok hijauan kami yang terselimuti debu vulkanik.
Beberapa menit di kandang, kami segera meluncur ke rumahku. Kupakai
kesempatan itu untuk menyelamatkan CPU, mengambil lagi beberapa helai
baju, dan menyelamatkan beberapa surat penting yang tertinggal dini hari
tadi. Suasana masih mencekam karena guruh merapi masih terdengar.
Setelah itu kami sempatkan mampir ke Kalireso untuk mengambil beberapa
keperluan pak Indra. Di sana, gemuruh jauh lebih keras lagi.
Siang hari kami gunakan untuk istirahat sekaligus shalat Jumat.
Sorenya, aku diminta untuk mengevakuasi teman-teman kader yang masih
tertinggal di atas. Aku berangkat bersama pak Herwanto dan pak Ahmad.
Cukup sulit untuk mencapai ke atas, karena jalan-jalan utama sudah
diblokir oleh polisi dan relawan. Tapi biasanya tiga kata sakti ini
cukup membuat jalan terbuka untuk kami: “relawan PKS, evakuasi”. Apalagi
kami bertiga memakai kaos kepanduan.
Selama berputar-putar
melacak lokasi teman-teman dan keluarga kader di atas, keadaan sangat
mencekam. Gemuruh merapi jauh lebih keras dari tadi siang. Kondisi
sangat gelap, padahal waktu masih menunjukkan pukul 14.30. Terus terang,
jadi aku teringat sehari sebelum letusan ketika aku, pak Herwanto dan
pak Ahmad beserta beberapa kepanduan DPD naik ke dusun Boyong yang
berjarak 8 km dari puncak untuk membongkar tenda pleton (saat itu radius
bahaya sudah dinaikkan menjadi 15 km). Saat melepas tenda pleton itu,
setiap ada guruh aku selalu mendongak ke arah puncak. Menebak-nebak
apakah itu suara gemuruh geledek dari awan hujan, atau suara gemuruh
merapi yang memuntahkan awan panas. Kini, kondisi dusun Boyong yang
berjarak 8 km dari puncak itu sama dengan kondisi daerah yang sedang aku
lewati, yang berjarak sekitar 15 km dari puncak.
Jalur evakuasi yang kutempuh cukup berputar-putar karena beberapa akses
jalan tertutup oleh batang pohon atau bambu yang rubuh. Di sebuah dusun
kudapati sebuah pohon beringin yang sangat besar tumbang karena tidak
kuat menahan beban abu dan pasir di dahannya. Pikirku saat itu adalah
“mudah-mudahan rumahku tidak bernasib seperti ini”, mengingat rumahku
juga terkena hujan pasir dan kerikil.
Ketika
memasuki pertigaan Balong dan akan menyeberangi jembatan, ada sekelompok
linmas menghadang kami. Seperti biasa, kubuka jendela mobil sambil
berkata “relawan PKS, mau evakuasi”. Tapi kali ini kata sakti kami tidak
berhasil. “Banjir mas, gak bisa lewat!” demikian teriak salah seorang
linmas. Aku memajukan mobilku sekitar 10 meter ke depan. Baru aku sadar
apa maksud linmas tersebut. Jembatan yang akan aku lewati terbenam oleh
aliran deras lahar dingin. Deras sekali. Masya Allah….pikirku. Sungai
ini berhulu di Kali Boyong, dan berhilir di Kali Code, tempat tinggal
teman-teman ‘pekanan’-ku. Aku tidak ingat apakah hari itu hujan deras,
tapi aku ingat sekali aliran lahar dingin tersebut, dengan material
vulkanik berupa batu besar-besar. Aku berputar sambil berdo’a dalam hati
“Allah, lindungilah saudara-saudaraku di bawah sana”.
Malam itu, kami semua dari PKS DPC Pakem sepakat bahwa itulah tidur
ternikmat yang pernah kami rasakan. Tanpa ada rasa takut, tanpa ada
gangguan guruh dan hujan abu. Malam itu, kami beristirahat dengan
tenang. Namun kami sadar, seperti pesan salah satu ustadz kami: “Bencana
ini nampaknya akan panjang. Oleh karena itu kita juga harus menjaga
nafas kita agar tetap panjang. Karena kita tidak hanya dibutuhkan saat
tanggap bencana, melainkan juga saat post-disaster”.
Merapi pertama kali meletus pada tanggal 26 Oktober 2010 pukul lima
sore lewat, tepat saat kami baru saja selesai rapat koordinasi persiapan
bencana. Sampai kisah ini kutulis pada tanggal 11 November 2010, masih
belum ada tanda-tanda kapan bencana ini akan berakhir.
Kisah ini kutulis sebagai jawaban atas keinginan teman-teman yang
memintaku untuk menceritakan pengalaman kami saat letusan besar pada
tanggal 5 November 2010 itu terjadi. Kisah ini kutulis, untuk
menceritakan mereka, manusia-manusia berani yang bekerja demi sesama
walau tanpa kemewahan sorot kamera. Kisah ini kuberi judul “Kisah dari
Garis Depan” karena menceritakan tentang pengalaman kami yang berada
pada garis terdepan saat letusan terbesar gunung Merapi dalam 100 tahun
terakhir ini terjadi.

Sesungguhnya masih banyak
kisah-kisah kepahlawanan dan kemanusiaan yang kusaksikan, namun belum
sempat kutuliskan di sini. Tahukah engkau kisah tentang seorang kakek
berusia 70 tahun yang dengan penuh semangat naik-turun ke atas gunung
untuk membantu evakuasi warga? Tahukah engkau bahwa ada seorang
pengungsi yang berprofesi sebagai tukang sayur mendatangiku, menanyakan
berapa harga dombaku yang paling gemuk dan paling mahal beserta biaya
memasaknya, lalu membayarnya tunai dan memintaku menyerahkan masakannya
untuk dibagi-bagi kepada sesama pengungsi? Tahukah engkau, ada seorang
ibu paruh baya yang rumahnya habis dilahap awan panas, harta yang
tertinggal hanya pakaian di badan, tetapi setiap hari ia selalu
berkeliling menghibur dan mengajak pengungsi lainnya untuk mensyukuri
bencana yang mereka alami sebagai Kasih Sayang dari Allah? Tahukah
engkau, bahwa sekitar 20 KK kader DPC Pakem kehilangan mata
pencahariannya namun itu tidak menghalangi mereka untuk turun sebagai
relawan tanpa dibayar?
Itu masih sebagian kisah. Masih
ada kisah-kisah lain yang memilukan, seperti pengungsi yang gantung
diri karena depresi, sampai kepala dukuh yang mengajak seluruh warga
dusunnya yang beragama islam menginap di gereja karena iming-iming
bantuan. Khusus peristiwa terakhir ini, aku mengajak kalian semua
mengubah pola pikir kalian saudara-saudaraku. Jangan kau salahkan mereka
dengan bertanya “bagaimana mungkin keimanan digadaikan demi
sebungkus-dua bungkus mie instan?”. Tapi introspeksilah diri kita dengan
bertanya “sudahkah kita berkontribusi maksimal, sehingga ada
saudara-saudara kita yang harus mengemis kepada orang lain padahal
mereka adalah saudara kita yang menjadi tanggung jawab kita?”. Karena
dakwah itu, wahai saudara-saudaraku seiman, adalah tentang kontribusi
nyata, bukan sekedar kata, apalagi sekedar caci-maki dan keluhan di
forum semata.
Kisah ini kutulis atas rasa bernama
cinta. Dalam Dekapan ukhuwah, cerita ini mengalir. Seperti buku yang
kubaca saat Ramadhan yang lalu, karya Salim A. Fillah.
Muhammad Subroto,
yang masih belajar mencurahkan isi hatinya dalam bentuk tulisan