RSS

Jumat, 15 Juli 2011

Kloning cinta (huek..)


Beberapa hari lalu saya nonton film mengenai kloning..
tiba2 jd ingat dengan tulisan seorang teman...
dan ingin aja post ke sini.. ^^
setelah dicari2 dapat juga.. :)
Intermezo, dari teman.. dah diizinkan unt dicopas..
kl dah pernah baca.. ya baca lagi.. ^^
Just sharing.. :)



Jangan muntah dulu ketika membaca judul tulisan ini. Saya bukan ingin berbagi cerita melankolis tapi hanya ingin sekedar berceloteh tentang kemungkinan- kemungkinan konyol adonan cinta dan teknologi.
 
Terinspirasi dari curhat beberapa orang teman yang ditolak cintanya atau ditinggal nikah sama suami/istri idamannya (curhatan saya juga sih,huhu-red) , saya merasa ada hal yang layak saya share dengan teman-teman semua.
Seseorang akan selalu menginginkan cerita cintanya berakhir bahagia. Lazimnya, akhir cerita cinta ini direpresentasikan oleh berhasilnya seseorang untuk menikahi orang yang dia cintai (padahal hal ini bukan jaminan kebahagiaan hidupnya).
 
Akan tetapi pada kenyataannya kita tahu bahwa tidak semua orang punya cerita cinta yang bahagia. Terlalu banyak kisah cinta tragis dan melankolis yang terjadi di dunia ini dan saya tidak akan membahasnya disini. Yang akan saya bahas adalah kemungkinan apa yang akan dilakukan oleh mereka yang patah hati atau kandas kisah cintanya.
 
Beberapa menit yang lalu saya sempat berpikir bahwa kloning manusia yang dilegalkan adalah salah satu cara yang bisa mengobati mereka yang nelongso karena cinta. Buat mahasiswa biologi mungkin mudah untuk menebak kemana arah tulisan saya ini. Ya, mereka yang patah hati mungkin bisa untuk mengkloning pasangan yang mereka idamkan.
 
Saat ini isu kloning bagi masyarakat bagaikan sepiring nasi yang sudah dikelilingin lalat buah di atas meja makan. Basi!!..karena saat ini media, setelah fokus pada isu-isu lingkungan, mulai seru untuk menyorot hal-hal yang berkaitan dengan keadaan ekonomi global. Isu sains dan etika sudah tenggelam dan terlupakan. Apa pentingnya mengurus ‘ini baik atau ini tidak baik’ di tengah banyaknya masalah pengangguran yang bertambah di dunia?
 
Tapi buat mereka yang patah hati, saya kira hal ini penting. Kita bisa mengkloning ‘kekasih hati’ (huek..huek) kita lho. Sederhananya, kita bisa diam-diam mengambil darahnya (mungkin bisa dengan berpura-pura pake jarum pentul di lengan baju ketika bersalaman di hari pernikahannya sehingga dia tertusuk dan berdarah, -phew), lalu membawa samplenya ke tempat jasa kloning. Dengan teknologi yang sudah bisa merekayasa hormon pertumbuhan, katakanlah dalam enam bulan, kita sudah bisa mendapatkan ‘kekasih hati’ kita (huek..huek lagi)..dengan kedaan fisik yang sama persis sebelum dia meninggalkan pelaminan.
 
Kalau cinta adalah masalah memiliki secara fisik, maka teknologi kloning adalah solusi. Kita bisa menurunkan angka kematian dengan modus pembunuhan atau bunuh diri karena cinta. Semua orang bisa bahagia.
 
Tapi tunggu dulu. Apakah kehadiran fisik ‘kekasih hati’ (huek..huek lagi..) menjamin terbalasnya cinta kita?..apakah mahluk hasil kloning itu akan mempunyai perasaan yang sama dengan kita?..apakah mahluk kloning tersebut mempunyai personality yang membuat kita sayang padanya?..kenyataan nya mahluk kloning tersebut adalah mahluk hidup yang tunduk terhadap hukum alam dan kejaiban hidup. dia juga mempunyai perasaan yang tidak bisa dipaksakan.
 
Jika mahluk kloning itu berumur enam bulan tapi dengan penampilan fisik duapuluh tiga tahun, maka tetap saja dia adalah mahluk dengan kenangan hidup yang di dapat selama enam bulan. He or she will not be the same person..mereka adalah orang yang berbeda. Mereka bukan orang yang membuat kita jatuh cinta. Walaupun fisik dan gerak-gerik mereka sama, kita tidak punya kenangan bersama mahluk kloning yang bisa membuat kita sayang dan cinta terhadap mereka.
 
Setelah berpikir seperti ini, saya jadi berkesimpulan : personality orang yang kita cintai dan kenangan yang kita bagi bersama mereka adalah hal yang membentuk perasaan kita terhadap mereka.
 
Jika pun kloning sudah di legalkan, kenangan-kenangan yang sudah terjadi tidak akan pernah bisa diputar ulang. Cinta tidak akan pernah bisa di kloning.

- Dyan R- 


Kamis, 14 Juli 2011

Tak Mungkin Hidup Tanpa Perbaikan Diri


 "Memang proses menjadi baik itu panjang. 
Tetapi keputusan untuk menjadi baik itu hanya memerlukan waktu beberapa saat."


                Umar bin Abdul Aziz menangis tersedu-sedu. Dipandanginya penduduk Madinah dengan tatapan kasih sayang yang mendalam. Dengan suara parau ia berkata, “Wahai penduduk Madinah, sesungguhnya aku khawatir menjadi orang yang melupakan jasa baik Madinah”.
                Hari itu Umar bin Abdul Aziz harus meninggalkan kota suci itu. Tempat yang sangat mengesankan bagi seluruh proses perubahan dirinya. Karena ia telah ditetapkan untuk memimpin tampuk tertinggi kekhalifahan Bani Umayyah di Damaskus.
                Terlalu banyak kenangan indah Umar bin Abdul Aziz di Madinah. Tidak mudah begitu saja ia menghapus lembaran hidupnya disana. Di kota mulia itulah Umar menjalani penempaan diri bertahun-tahun. Sesuatu yang kemudian memberi andil sangat besar bagi sikap, tindak tanduk bahkan keputusan-keputusannya ketika kelak menjadi khalifah.
                Semasa masih tinggal di lingkungan istana Bani Umayyah, Umar bin Abdul Aziz terkenal sebagai sosok yang kaya dan hidup mewah. Tidak mengherankan, karena ia memang masih keturunan salah seorang pembesar Bani Umayyah. Tak ada orang yang tidak mengenalnya. Dimana saja ia singgah dan di jalan mana dia lewat pasti di situ tercium bau wangi misiknya. Ia selalu memanjangkan kainnya hingga menutupi alas kakinya. Ia juga membiarkan selendangnya sedikit terlepas dari pundaknya karena memang sengaja tidak mengikatnya.
                Tetapi hati manusia memang bisa berubah-ubah. Dari satu warna ke warna yang lain. Dari hitam menjadi putih, dari pekat menjadi bersinar. Begitu pula Umar bin Abdul Aziz. Ketika ia memegang tampuk kekhalifahan Bani Umayyah, dibuangnya model kehidupan yang pernah dijalaninya sejauh-jauhnya. Kehidupan berubah total, menjadi seorang yang zuhud terhadap dunia. Hidupnya sangat sederhana, lebih sederhana dari kehidupan rakyat-rakyatnya. Bukan karena terjadi kemiskinan dimana-mana. Justru di masanya zakat melimpah ruah, sampai-sampai sulit mencari orang miskin untuk diberi zakat.
                Suatu hari, bawahannya menyerahkan kepadanya harta rampasan perang, termasuk minyak wangi. Umar bin Abdul Aziz memegangnya. Setelah itu ia langsung bangkit dan bergegas berwudhu. Sekretarisnya heran, seraya bertanya kenapa itu dilakukan. Umar bin Abdul Aziz menjawab, “Bukankah seseorang itu tidak diperbolehkan mengambil manfaat dari sesuatu kecuali yang telah menjadi haknya. Sedangkan aku sama sekali belum memiliki hak dari barang ini.”
                Umar bin Abdul Aziz tidak saja menjadi cermin seseorang yang agung. Tapi contoh bagaimana ia menjalani prosesi-prosesi perbaikan diri dalam jangka yang tidak pendek. Para penulis sejarah menjelaskan, perubahan hidup Umar bin Abdul Aziz itu tidak datang secara tiba-tiba. Tetapi melalui sebuah proses yang lama, berhari-hari,  bahkan bertahun-tahun. Dimulai ketika ia dikirim ibunya ke Madinah, untuk tinggal bersama pamannya yang juga salah satu putra Umar bin Al-Khattab. Saat itu ibunya prihatin dengan lingkungan istana Bani Umayyah, yang sangat mempengaruhi karakter Umar bin Abdul Aziz.
                Di Madinah, Umar bin Abdul Aziz hidup dalam suasana yang baru. Penuh dengan ilmu dan kezuhudan, dua hal yang merupakan warisan kehidupan para sahabat Rasulullah saw. setiap hari ia belajar, mendengarkan bimbingan dan pengarahan. Jiwanya terus disirami dengan nasehat dan hal-hal yang membersihkannya. Umar bin Abdul Aziz benar-benar telah tenggelam dalam suasana hidup penduduk Madinah. Akalnya penuh dengan ilmu-ilmu mereka. Jiwanya menyatu dengan mereka, penuh ketawadhu’an.
                Proses perbaikan diri yang dilakukan Umar bin Abdul Aziz juga menyangkut sisi-sisi keilmuan. Imam Mujahid bin Jibr, salah seorang murid Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, berkata, “Kami selalu mengajari Umar bin Abdul Aziz ilmu dan kami tidak berhenti mengajarinya sampai kam benar-benar tahu bahwa ia sudah betul-betul paham.”
                Sedang tentang kezuhudan, Umar bin Abdul Aziz menghayati betul apa yang diajarkan pamannya, bahwa syarat utama diterimanya amal adalah keikhlasan. Sejak itu Umar bin Abdul Aziz tidak henti-hentinya mengintrospeksi diri atas segala sesuatu yang keluar dari dirinya baik ucapan maupun perbuatan. Semuana selalu ditimbang, apakah untuk Allah atau untuk selain-Nya. Ia pernah berkata, “Sesungguhnya aku berusaha untuk meminimalkan pembicaraan karena khawatir jatuh pada kesombongan.”
                Kisah Umar bin Abdul Aziz masih sangat panjang dibanding sepenggal cuplikan di atas. Tetapi setidaknya hal di atas cukup memberi penegasan bagi kita, bahwa untuk menjadi baik itu mungkin, bagi siapa saja. Karena rentang waktu yang tersedia bagi manusia memberi kesempatan yang sangat berharga untuk berubah, berbuat dan menata ulang kepribadiannya. Memang, proses menjadi baik itu panjang. Tetapi keputusan untuk memulai menjadi baik hanya memerlukan waktu beberapa saat. Ya, perbaikan diri memang tidak kenal henti. Tetapi kemauan dan kemantapan untuk memulai perbaikan diri itu hanya perlu waktu sebentar. Hanya dibutuhkan kejujuran di dasar hati. Agar fitrah manusia berbicara apa adanya. Saat itu jawabannya akan langsung ada, bahwa setiap kita harus menjadi baik, memulai menjadi baik, atau setidaknya memilih untuk menjadi baik.
                Hadist Rasulullah menggarisbawahi bahwa memperbaiki diri merupakan bagian dari irama hidup serang muslim. Seperti nampak jelas dalam sabdanya, “Sesungguhnya manusia itu banyak salahnya. Dan sesungguhnya, sebaik-baik orang yang banyak salahnya, adalah orang yang banyak bertaubat.” (HR. Tirmidzi). Banyak salahnya, artinya kesalahan itu sangat mungkin akan terus terjadi. Maka, meratapi dan menyesali kekurangan dan kesalahan itu perlu. Tetapi yang jauh lebih perlu lagi, adalah bagaimana memperbaiki kesalahan itu. Maka, seperti dalam lanjutan hadist tersebut, banyak bertaubat artinya ada proses yang terus berjalan untuk memperbaiki kesalahan tersebut.
                Hal itu pula yang dapat kita maknai dalam firman Allah swt. “Dan janganlah sekali-kali kamu mati, melainkan dalam keadaan sebagai seorang muslim.” (QS. Al-Imran: 103). Artinya, setiap saat kematian itu bisa datang. Tetapi kematian itu sendiri sangat gelap bagi manusia. Maka, setiap saat pula seorang muslim harus berjuang antara kesalahan dengan perbaikan, antara dosa dengan taubat. Tak lain, agar pada detik kematian itu tiba, ia tiba pada saat baiknya, atau pada saat taubatnya.
                Maka memperbaiki diri menjadi kebutuhan hidup utama kita. Agar, segala yang kita makan, yang kita minum, yang kita hirup untuk menyambung nafas-nafas kita, untuk menegakkan tulang-tulang persendian kita, tidak sampai hanya untuk memperlambat saat-saat Allah akan mengazab kita. Tetapi sebaliknya, segalanya menjadi bagian penting, dari saat-saat kita untuk selalu tegar memperbaiki diri, memohon penerimaan dan ampunan Allah swt.

(Lelaki Pendek, Hitam & Lebih jelek dari Untanya – Ahmad Zairofi AM)