RSS

Kamis, 14 Juli 2011

Tak Mungkin Hidup Tanpa Perbaikan Diri


 "Memang proses menjadi baik itu panjang. 
Tetapi keputusan untuk menjadi baik itu hanya memerlukan waktu beberapa saat."


                Umar bin Abdul Aziz menangis tersedu-sedu. Dipandanginya penduduk Madinah dengan tatapan kasih sayang yang mendalam. Dengan suara parau ia berkata, “Wahai penduduk Madinah, sesungguhnya aku khawatir menjadi orang yang melupakan jasa baik Madinah”.
                Hari itu Umar bin Abdul Aziz harus meninggalkan kota suci itu. Tempat yang sangat mengesankan bagi seluruh proses perubahan dirinya. Karena ia telah ditetapkan untuk memimpin tampuk tertinggi kekhalifahan Bani Umayyah di Damaskus.
                Terlalu banyak kenangan indah Umar bin Abdul Aziz di Madinah. Tidak mudah begitu saja ia menghapus lembaran hidupnya disana. Di kota mulia itulah Umar menjalani penempaan diri bertahun-tahun. Sesuatu yang kemudian memberi andil sangat besar bagi sikap, tindak tanduk bahkan keputusan-keputusannya ketika kelak menjadi khalifah.
                Semasa masih tinggal di lingkungan istana Bani Umayyah, Umar bin Abdul Aziz terkenal sebagai sosok yang kaya dan hidup mewah. Tidak mengherankan, karena ia memang masih keturunan salah seorang pembesar Bani Umayyah. Tak ada orang yang tidak mengenalnya. Dimana saja ia singgah dan di jalan mana dia lewat pasti di situ tercium bau wangi misiknya. Ia selalu memanjangkan kainnya hingga menutupi alas kakinya. Ia juga membiarkan selendangnya sedikit terlepas dari pundaknya karena memang sengaja tidak mengikatnya.
                Tetapi hati manusia memang bisa berubah-ubah. Dari satu warna ke warna yang lain. Dari hitam menjadi putih, dari pekat menjadi bersinar. Begitu pula Umar bin Abdul Aziz. Ketika ia memegang tampuk kekhalifahan Bani Umayyah, dibuangnya model kehidupan yang pernah dijalaninya sejauh-jauhnya. Kehidupan berubah total, menjadi seorang yang zuhud terhadap dunia. Hidupnya sangat sederhana, lebih sederhana dari kehidupan rakyat-rakyatnya. Bukan karena terjadi kemiskinan dimana-mana. Justru di masanya zakat melimpah ruah, sampai-sampai sulit mencari orang miskin untuk diberi zakat.
                Suatu hari, bawahannya menyerahkan kepadanya harta rampasan perang, termasuk minyak wangi. Umar bin Abdul Aziz memegangnya. Setelah itu ia langsung bangkit dan bergegas berwudhu. Sekretarisnya heran, seraya bertanya kenapa itu dilakukan. Umar bin Abdul Aziz menjawab, “Bukankah seseorang itu tidak diperbolehkan mengambil manfaat dari sesuatu kecuali yang telah menjadi haknya. Sedangkan aku sama sekali belum memiliki hak dari barang ini.”
                Umar bin Abdul Aziz tidak saja menjadi cermin seseorang yang agung. Tapi contoh bagaimana ia menjalani prosesi-prosesi perbaikan diri dalam jangka yang tidak pendek. Para penulis sejarah menjelaskan, perubahan hidup Umar bin Abdul Aziz itu tidak datang secara tiba-tiba. Tetapi melalui sebuah proses yang lama, berhari-hari,  bahkan bertahun-tahun. Dimulai ketika ia dikirim ibunya ke Madinah, untuk tinggal bersama pamannya yang juga salah satu putra Umar bin Al-Khattab. Saat itu ibunya prihatin dengan lingkungan istana Bani Umayyah, yang sangat mempengaruhi karakter Umar bin Abdul Aziz.
                Di Madinah, Umar bin Abdul Aziz hidup dalam suasana yang baru. Penuh dengan ilmu dan kezuhudan, dua hal yang merupakan warisan kehidupan para sahabat Rasulullah saw. setiap hari ia belajar, mendengarkan bimbingan dan pengarahan. Jiwanya terus disirami dengan nasehat dan hal-hal yang membersihkannya. Umar bin Abdul Aziz benar-benar telah tenggelam dalam suasana hidup penduduk Madinah. Akalnya penuh dengan ilmu-ilmu mereka. Jiwanya menyatu dengan mereka, penuh ketawadhu’an.
                Proses perbaikan diri yang dilakukan Umar bin Abdul Aziz juga menyangkut sisi-sisi keilmuan. Imam Mujahid bin Jibr, salah seorang murid Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, berkata, “Kami selalu mengajari Umar bin Abdul Aziz ilmu dan kami tidak berhenti mengajarinya sampai kam benar-benar tahu bahwa ia sudah betul-betul paham.”
                Sedang tentang kezuhudan, Umar bin Abdul Aziz menghayati betul apa yang diajarkan pamannya, bahwa syarat utama diterimanya amal adalah keikhlasan. Sejak itu Umar bin Abdul Aziz tidak henti-hentinya mengintrospeksi diri atas segala sesuatu yang keluar dari dirinya baik ucapan maupun perbuatan. Semuana selalu ditimbang, apakah untuk Allah atau untuk selain-Nya. Ia pernah berkata, “Sesungguhnya aku berusaha untuk meminimalkan pembicaraan karena khawatir jatuh pada kesombongan.”
                Kisah Umar bin Abdul Aziz masih sangat panjang dibanding sepenggal cuplikan di atas. Tetapi setidaknya hal di atas cukup memberi penegasan bagi kita, bahwa untuk menjadi baik itu mungkin, bagi siapa saja. Karena rentang waktu yang tersedia bagi manusia memberi kesempatan yang sangat berharga untuk berubah, berbuat dan menata ulang kepribadiannya. Memang, proses menjadi baik itu panjang. Tetapi keputusan untuk memulai menjadi baik hanya memerlukan waktu beberapa saat. Ya, perbaikan diri memang tidak kenal henti. Tetapi kemauan dan kemantapan untuk memulai perbaikan diri itu hanya perlu waktu sebentar. Hanya dibutuhkan kejujuran di dasar hati. Agar fitrah manusia berbicara apa adanya. Saat itu jawabannya akan langsung ada, bahwa setiap kita harus menjadi baik, memulai menjadi baik, atau setidaknya memilih untuk menjadi baik.
                Hadist Rasulullah menggarisbawahi bahwa memperbaiki diri merupakan bagian dari irama hidup serang muslim. Seperti nampak jelas dalam sabdanya, “Sesungguhnya manusia itu banyak salahnya. Dan sesungguhnya, sebaik-baik orang yang banyak salahnya, adalah orang yang banyak bertaubat.” (HR. Tirmidzi). Banyak salahnya, artinya kesalahan itu sangat mungkin akan terus terjadi. Maka, meratapi dan menyesali kekurangan dan kesalahan itu perlu. Tetapi yang jauh lebih perlu lagi, adalah bagaimana memperbaiki kesalahan itu. Maka, seperti dalam lanjutan hadist tersebut, banyak bertaubat artinya ada proses yang terus berjalan untuk memperbaiki kesalahan tersebut.
                Hal itu pula yang dapat kita maknai dalam firman Allah swt. “Dan janganlah sekali-kali kamu mati, melainkan dalam keadaan sebagai seorang muslim.” (QS. Al-Imran: 103). Artinya, setiap saat kematian itu bisa datang. Tetapi kematian itu sendiri sangat gelap bagi manusia. Maka, setiap saat pula seorang muslim harus berjuang antara kesalahan dengan perbaikan, antara dosa dengan taubat. Tak lain, agar pada detik kematian itu tiba, ia tiba pada saat baiknya, atau pada saat taubatnya.
                Maka memperbaiki diri menjadi kebutuhan hidup utama kita. Agar, segala yang kita makan, yang kita minum, yang kita hirup untuk menyambung nafas-nafas kita, untuk menegakkan tulang-tulang persendian kita, tidak sampai hanya untuk memperlambat saat-saat Allah akan mengazab kita. Tetapi sebaliknya, segalanya menjadi bagian penting, dari saat-saat kita untuk selalu tegar memperbaiki diri, memohon penerimaan dan ampunan Allah swt.

(Lelaki Pendek, Hitam & Lebih jelek dari Untanya – Ahmad Zairofi AM)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kasih coment yang membangun ya.. ^^